Kamu belum login

Silahkan login untuk akses semua fitur

Berdosakah Bila Tidak Mengamalkan Hadits Shahih?

Pertanyaan ini cukup menjebak, yaitu berdosakah kita bila tidak mengamalkan hadits shahih?

Kita yang awam dan kurang belajar ilmu hadits secara mendalam biasanya sering 'terjebak' dengan pertanyaan model ini. Dan cenderung akan menjawab secara gegabah bahwa berdosa bila tidak mengamalkan hadits shahih. 

Sebenarnya bila dibilang berdosa memang tidak salah, hanya saja belum benar  seratus persen. Jawaban semacam itu agak kurang teliti dan masih belum terlalu kritis dalam menjawab.

Yang benar bahwa ada sebagian dari hadits shahih yang memang wajib dijalankan dan berdosa bila ditinggalkan. Tetapi ketentuan itu tidak berlaku pada semua hadits shahih. Mengapa demikian?

Sebab kita juga menemukan banyak sekali hadits shahih yang ternyata hukumnya tidak wajib untuk dikerjakan, tetapi hanya sebatas sunnah atau mubah saja, tidak sampai menjadi kewajiban.Maka meninggalkannya tidak lantas membuat kita berdosa.

Bahkan beberapa hadits shahih itu ada yang hukumnya justru makruh kalau dikerjakan, hingga sampai batas diharamkan. Alih-alih berdosa, justru hukumnya wajib ditinggalkan.

A. Contoh Hadits Shahih Yang Boleh Ditinggalkan dan Tidak Berdosa
Kita menemukan banyak sekali hadits shahih yang mana secara hukum boleh kita tinggalkan dan tidak mengapa bila kita tidak mengerjakannya. Dan kita tidak berdosa bila meninggalkannya.

1. Shalat Memakai Sepatu dan Sandal
Hadits-hadits tentang Nabi SAW dan para shahabat shalat memakai sepatu cukup banyak yang shahih, diantaranya hadits berikut ini :

Abu Maslamah Said bin Yazid Al-Azdi bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahuanhu :

أكان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في نعليه قال نعم

"Apa benar bahwa Rasulullah SAW shalat dengan mengenakan kedua sandalnya?". Beliau (Anas bin Malik) menjawab,"Ya". (HR. Bukhari)

Coba kita perhatikan sekeliling kita, siapa diantara kita yang mengamalkan hadits shahih di atas? Nyaris tidak ada dan bahkan kalau sampai kita kerjakan, yaitu shalat pakai sepatu di dalam masjid, pasti habislah kita dibantai orang semasjid.

Padahal kalau dipikir-pikir, ketika Beliau SAW shalat dengan mengenakan sepatu, bukan hal yang terjadi sesekali dua kali, melainkan perbuatan yang bersifat standar, dimana beliau selalu bersepatu ketika mengerjakan shalat.

Bahkan kita juga menemukan hadits lain yang menyebutkan bahwa ada penekanan khusus dari Nabi SAW kepada para shahabat untuk shalat mengenakan sepatu, sebagaimana hadits berikut :

  خَالِفُوااليَهُودَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّونَ فيِ نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ

Dari Syaddan bin Aus radhiyallahuanhu (marfu') bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Berbedalah kalian dari Yahudi. Mereka tidak shalat memakai sandal atau sepatu. (HR. Abu Daud)

Namun meski demikian, seluruh ulama sepakat bahwa shalat tidak wajib pakai sepatu. Tidak ada satu pun ulama yang menjadikan sepatu sebagai rukun shalat yang bila tidak dipakai lantas membuat shalat menjadi tidak sah.

2. Adzan Shubuh Dua Kali
Adzan Shubuh di masa Rasulullah SAW dilantunkan dua kali, yang pertama sebelum masuk waktu shubuh dan yang kedua tepat ketika terbit fajar dan masuk waktu Shubuh. Hal itu bisa kita baca dalam hadits Bukhari berikut ini :

لاَ يَمْنَعُنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ وَلِيَنِّبَهُ نَائِمَكُمْ

Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jangan sampai adzan Bilal menghentikan makan sahur kalian, karena dia adzan untuk mengingatkan orang yang shalat malam di masjid agar kembali ke rumah, dan untuk membangunkan orang yang tidur”. (HR. Bukhari)

Dinukilkan oleh Ibnu Jarir bahwa para ulama telah berijma menetapkan adzan sebelum waktu tidaklah sah. Hendaklah adzan itu dilakukan apabila telah masuk waktu, kecuali untuk shalat shubuh. Untuknya sah dilakukan adzan sebelum waktunya. Demikianlah pendapat Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auzai, Abu Yusuf, Abu Tsaur, Ishaq dan Daud.

Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auzai, Abu Yusuf, Abu Tsaur, Ishaq, Daud dan jumhur ulama menetapkan : Dua Adzan untuk shalat shubuh.

Tetapi coba kita perhatikan ke sekeliling kita, dimana ada adzan shubuh yang dilantunkan dua kali? Agak jarang kita temukan, kecuali hanya di tempat-tempat tertentu saja, seperti di Madinah Al-Munawwarah sekarang ini.

Lantas apakah kita semua umat Islam jadi berdosa gara-gara tidak melantunkan adzan Shubuh dua kali? Tidak seorang pun dari ulama yang mengatakan hal itu. Mereka hanya sebatas mengatakan bahwa disunnahkan untuk mengamalkannya, tetapi bila ditinggalkan pun tidak berdosa, meskipun haditsnya shahih.

3. Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Fithr
Hadits Shahih disebutkan dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah SAW tidak keluar rumah untuk mengerjakan shalat Idul Fithr kecuali Beliau SAW memakan beberapa butir kurma.

عَنْ أَنَسٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Dari Anas bin Malik radliyallahuanhu berkata, “Rasulullah tidak berangkat pada Idul Fithri hingga beliau memakan beberapa kurma. (HR. Bukhari) [4]

Lantas bolehkah kita berangkat shalat Idul Fithr tanpa makan kurma terlebih dahulu? Apakah kita jadi berdosa bila meninggalkannya? Dan apakah shalat yang kita lakukan menjadi tidak sah?

Ternyata para ulama umumnya hanya sekedar menyunnahkan saja untuk makan sebelum shalat Idul Fithr, sama sekali tidak ada satu pun yang mewajibkannya. Padahal haditsnya shahih dimuat dalam kitab Shahih Bukhari.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih namun ternyata dari segi hukum tidak lantas menjadi kewajiban bagi kita untuk melaksanakannya. Bila ditinggalkan pun juga tidak sampai membuat kita berdosa.

B. Contoh Hadits Shahih Yang Wajib Kita Tinggalkan
Malah kadang ada hadis yang shahih tetapi justru wajib kita tinggalkan, misalnya

1. Puasa Wishal
Ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan puasa wishal, yaitu puasa siang malam beberapa hari berturut-turut tanpa berbuka dan makan sahur.

Dalam urusan puasa wishal ini, Rasulullah SAW mempunyai kekhususan tersendiri, dimana beliau diberi fasilitas khusus yang tidak diberikan kepada umatnya. Sehingga beliau secara pribadi justru berpuasa wishal.

نَهَاهُم النَّبِيُّ  عَنِ الوِصاَلَ رَحْمَةً لَهُمْ فَقَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلْ؟ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِيْنِي

Rasulullah SAW melarang para shahabat berpuasa wishal sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para shahabat bertanya, "Anda sendiri berpuasa wishal?". Beliau SAW menjawab, "Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Allah memberiku makan dan minum". (HR. Bukhari) [5]

2. Menikah Lebih Dari Empat Istri
Di dalam kitab Shahih Bukhari ada disebutkan hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah menggilir para istri Beliau SAW dalam satu malam, padahal jumlah istri Beliau SAW saat itu ada sembilan wanita.

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ «يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ، فِي اللَّيْلَةِ الوَاحِدَةِ، وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ

Nabi SAW menggilir para istrinya dalam satu malam dan saat itu Beliau SAW memiliki 9 orang istri. (HR. Bukhari) [6]

Catatan Penting :

Keshahihan hadits itu bukan syarat satu-satunya dasar penentu hukum atas kewajiban melaksanakannya. Meskipun status suatu hadits itu shahih, hukumnya bisa wajib dikerjakan, tapi juga bisa sunnah, mubah, makruh bahkan haram. Dibutuhkan ilmu istimbath hukum seperti Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih dan tidak menetukan hukum sekedar dari status keshahihan haditsnya saja. Hakikat keshahihan hadits itu hanya sebatas konfirmasi bahwa kejadian itu memang benar-benar terjadi di masa Nabi SAW. Tetapi apa yang menjadi kesimpulan hukumnya tidak secara otomatis sesuai dengan kejadian itu.Keshahihan suatu hadits sebenarnya tetap tidak bisa dilepaskan dari hasil ijtihad, sehingga bisa saja keshahihannya masih jadi perddebatan ulama hadits. Sebagian bilang shahih tapi boleh jadi sebagian bilang tidak shahih.

Wallahu a'lam

Sumber: https://rumahfiqih.com/konsultasi-1854-berdosakah-kita-bila-tidak-mengamalkan-hadits-shahih.html