Nabi Ibrahim Mencari Tuhan
“Wahai ayahku, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al An’am: 74)
Berhala-berhala yang dimaksudkan Nabi Ibrahim adalah patung-patung yang menyerupai simbol benda-benda langit. Ketika itu, kaum Nabi Ibrahim memang gemar beribadah kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan.
Tentu saja sang ayah tak menuruti nasehat sang anak yang diungkap dalam bentuk pertanyaan ini. Malah, dalam ayat lain di al-Qur’an disebutkan betapa marahnya Azar ketika Ibrahim meminta ia tidak lagi menyembah berhala-berhala itu. Azar berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam.” (QS: Maryam [19]: 46)
Lalu, secara halus Ibrahim mengajak ayahnya dan kaumnya untuk berfikir dengan melihat benda-benda langit yang selama ini mereka ibadahi. Benda langit pertama yang ia saksikan ketika malam telah gelap adalah bintang. Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku.”
Bintang itu kemudian tenggelam dan tidak lagi terlihat. Ibrahim berseru, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (QS. Al An’am: 76).
Lalu Ibrahim melihat bulan muncul di langit yang hitam. Dia berkata lagi, “Inilah Tuhanku.”
Lama kelamaan bulan itu juga terbenam. Ibrahim kembali berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al An’am: 77).
Setelah itu terbitlah matahari. Kembali Ibrahim berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.”
Menjelang senja, matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat. Melihat fenomena ini, Ibrahim menasehati kaumnya, “Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 78-79).
Begitulah kisah Ibrahim yang tertulis jelas dalam al-Qur’an. Ia mengajak kaumnya untuk berfikir bahwa benda yang selama ini mereka sembah tidaklah pantas untuk di-Tuhan-kan. Tak mungkin Tuhan berubah-ubah, kadang ada, kadang tiada. Kaumnya –bahkan ayahnya sendiri– jelas tak bisa membantah logika yang diperlihatkan Nabi Ibrahim.