Dalam Keadaan Apa Saja Kita Boleh Bertayammum?
Sebenarnya hukum tayammum ini ada dua macam, yaitu wajib dan boleh. Kedua keadaan itu disebutkan dengan dua istilah berbeda.
• Yang pertama adalah fuqdanul ma'i, yaitu keadaan dimana kita wajib bertayammum lantaran tidak ada air, meski sudah dicari atau diusahakan dengan sungguh-sungguh.
• Yang kedua adalah adamul qudrah 'alal ma'i, yaitu keadaan dimana kita dibolehkan bertayammum kalau tidak mampu. Pada kondisi ini air ada tetapi kita tidak mampu menggunakannya lantaran sebab-sebab tertentu.
Namun dalam pembahasan ini kita uraikan satu per satu biar mudah :
1. Tidak Adanya Air
Dalam kondisi tidak ada air untuk berwudhu’ atau mandi janabah, bukan berarti shalat menjadi gugur kewajibannya. Dan saat itulah tayammum menjadi wajib hukumnya. Maka wajiblah bagi seseorang yang tidak menemukan air untuk bersuci lewat tayammum dengan tanah.
Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan cara mengusahakannya, baik dengan cara mencarinya atau membelinya.
Dan sebagaimana yang telah dibahas pada bab air ada banyak jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini ada banyak air kemasan dalam botol yang dijual di pinggir jalan semua itu membuat ketiadaan air menjadi gugur.
Bila sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu namun tetap tidak berhasil barulah tayammum dengan tanah dibolehkan.
Dalil yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ الله فيِ سَفَرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ : مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَليِّ ؟ قَالَ : أَصَابَتْنِي جَناَبَةُ وَلاَ مَاء قَالَ : عَليَكَ باِلصَّعِيدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahuanhu berkata bahwa kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Beliau lalu shalat bersama orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat). Beliau bertanya"Apa yang menghalangimu shalat ?". Orang itu menjawab"Aku terkena janabah". Beliau menjawab "Gunakanlah tanah untuk tayammum dan itu sudah cukup". (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.
عَنْ أَبيِ ذَرٍّ قَالَ : اِجْتَوَيْتُ المَدِيْنَة فَأَمَر ليِ رَسُولُ الله sبِإِبِلٍ فَكُنْتُ فِيْهَا فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : هَلَكَ أَبُو ذَرٍّ قَالَ : مَا حَالُكَ ؟ قَالَ : كُنْتُ أَتَعَرَّضُ لِلجَنَابَةَ وَلَيْسَ قُرْبيِ مَاء فَقَالَ : إِنَّ الصَّعِيْدَ طَهُوْرٌ لِمَنْ لَمْ يَجِدْ المَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ
Dari Abi Dzar Radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun". (HR. Abu Daud Tirmizi Nasa’i Ahmad).
2. Sakit
Penyebab tayammum yang kedua adalah sakit. Dalam keadaan sakit, maka hukum bertayammum bukan wajib melainkan hukumnya boleh. Kalau dibilang wajib, maka orang yang sakit itu jadi haram berwudhu'. Tentu hukumnya bukan haram, melainkan boleh pilih salah satu, boleh tetap berwudhu saja tapi boleh juga diganti dengan tayammum.
Tetapi manakala sakitnya itu sangat parah dan benar-benar 100% tidak boleh kena air, maka bertayammum menjadi wajib baginya.
Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu, baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas petunjuk dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu wajib baginya untuk bertayammum.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ r أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ : قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَننْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
Dari Jabir Radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ... (HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).
3. Suhu Sangat Dingin
Dalam kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang maka menyentuh air untuk berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi hangat walaupun dengan mengeluarkan uang dia dibolehkan untuk bertayammum.
Di beberapa tempat di muka bumi terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk berwudhu’ jangankan menyentuh air sekedar tersentuh benda-benda di sekeliling pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama musim dingin.
Tentu saja tidak semua orang bisa memiliki alat pemanas air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang mampu memilikinya. Selebihnya mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau di wilayah yang kekurangan akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu’ di musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya.
Dalilnya adalah taqrir Rasulullah SAW saat peristiwa beliau melihat suatu hal dan mendiamkan tidak menyalahkannya.
اِحْتَلَمْتُ فيِ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ البَرْد فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَن أَهْلَك فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابيِ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُول اللهِ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ : يَا عَمْرُو صَلَّيتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُب؟ فَقُلْتُ : ذَكَرْتُ قَوْلَ الله تَعَالىَ -وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُم إِنَّ اللهُ كَانَ بِكُم رَحِيْمًا- فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
Dari Amru bin Al-’Ash Radhiyallahuanhu bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berkata"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya"Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku menjawab"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
4. Air Tidak Terjangkau
Kondisi ini sebenarnya bukan tidak ada air. Air ada tapi tidak bisa dijangkau. Meskipun ada air namun bila untuk mendapatkannya ada resiko lain yang menghalangi maka itupun termasuk yang membolehkan tayammum.
a. Kehilangan Barang
Misalnya seseorang berada di daerah yang rawan pencurian dan perampokan. Kalau untuk mendapatkan air dia harus pergi meninggalkan kendaraan atau perbekalannya, sehingga ada resiko besar dia akan kehilangan, maka dia boleh bertayammum saja.
b. Resiko Nyawa
Bertayammum juga dibolehkan apabila untuk menjangkau air ada resiko nyawa dipertaruhkan. Kalau sampai nyawa harus menjadi taruhan hanya sekedar untuk mendapatkan air, maka pilihan bertayammum wajib diambil.
Misalnya ditemukan air untuk berwudhu atau mandi, tetapi tempatnya jauh di dasar jurang yang amat dalam. Sementara seseorang tidak mampu untuk menuruni jurang itu. Untuk mendapatkan air dia harus berpikir bagaimana cara yang aman untuk menuruni tebing yang terjal dan beresiko pada nyawanya.
Mungkin dengan susah payah dia bisa berhasil turun ke dasar jurang. Tetapi kalau ternyata dia tidak bisa kembali lagi dan terjebak di dasar jurang itu selama-lamanya, tentu hal itu harus dihindari. Pada saat itu dia boleh bertayammum saja sebagai pengganti dari wudhu atau mandi janabah.
c. Air Dikuasai Musuh
Dalam keadaan air dikuasai oleh musuh yang sedang dalam keadaan berperang atau terjadi bentrok secara fisik, maka tayammum dibolehkan.
Sebab kalau kita nekad untuk menerobos pertahanan lawan hanya semata-mata untuk merebut air untuk wudhu dan mandi janabah, maka nyawa kita akan menjadi taruhannya. Maka secara hukum syariah, saat itu kita sudah boleh untuk bertayammum.
d. Ada Binatang Buas
Bila air hanya bisa didapat di dalam hutan yang liar serta banyak binatang buasnya, serta ada resiko kita akan diserang oleh binatang buas itu, maka kita cukup bertayammum saja dan tidak perlu mengambil resiko untuk diterkam serta menjadi korban.
Demikian juga, bila kita hanya tidak berhasil menemukan air kecuali hanya ada satu-satunya, yaitu di dalam kandang macan.
Saat itu ada dua pilihan yang bebas kita pilih. Pertama, kita urungkan niat untuk berwudhu dan cukup kita bertayammum saja. Pilihan ini adalah pilihan bijaksana dan sesuai dengan ketentuan syariah. Pilihan kedua adalah nekat masuk ke dalam kandang macan untuk berwudhu', tanpa peduli dengan keberadaan si macan.
Kalau pilihan yang kedua kita ambil, maka saat kita berdoa membaca basmalah untuk berwudhu, macan pun ikut berdoa juga, tetapi doanya adalah doa mau makan.
e. Tidak Ada Alat
Di beberapa tempat, kita bisa menemukan sumber-sumber air. Namun terkadang kita tidak punya alat atau teknologi yang cukup untuk menyedot atau memompa keluar air itu di dalam tanah. Maka pada saat itu, kita dibolehkan untuk bertayammum saja, karena meski pun kita menemukan sumber air, tetapi kita tidak bisa menggapainya karena tidak punya alatnya.
Salah satunya contoh kasusnya ada di Daerah Istimewa Jogjakarya (DIY), tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul. Kawasan ini demikian kering, sehingga hingga kedalaman 250 meter belum diketemukan air. Air baru ditemukan kira-kira dibawah kedalaman 360 meter.
Walaupun kering di atas, sebenarnya kabupaten Gunung Kidul memiliki kekayaan alam yang berlimpah di bawah, seperti aliran sungai bawah tanahnya.
Gunung Kidul sendiri merupakan kawasan yang memiliki karakter karst atau biasa dikenal dengan daerah kapur. Karst sendiri bahasa umumnya adalah kawasan yang mudah terlarut air hujan, maka dari itu banyak sekali aliran sungai-sungai bawah tanah dan juga gua-gua di daerah Gunung Kidul ini. Menurut perkiraan, ada lebih dari 400 gua di Kabupaten Gunung Kidul sendiri.
Menggunakan pompa dengan tenaga diesel solar, orang-orang berhasil mendistribusikan air bagi penduduk sekitar tak kurang dari 15-20 liter per hari per orang.
5. Air Tidak Cukup
Kondisi ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan ketimbang untuk wudhu’. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang sangat.
Bahkan para ulama mengatakan meski untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan maka harus didahulukan memberi minum anjing dan tidak perlu berwudhu’ dengan air. Sebagai gantinya bisa melakukan tayammum dengan tanah.
6. Habisnya Waktu
Dalam kondisi ini air ada dalam jumlah yang cukup dan bisa terjangkau. Namun masalahnya adalah waktu shalat sudah hampir habis. Bila diusahakan untuk mendapatkan air diperkirakan akan kehilangan waktu shalat. Maka saat itu demi mengejar waktu shalat bolehlah bertayammum dengan tanah.
Demikian penjelasan singkat terkait hal-hal apa saja yang membolehkan tayammum. Semoga Allah selalu melimpahkan kita dengan kemudahan dalam beribadah, amin.
Sumber: Rumahfiqih.com