Download QuranBest (Free)

325juta++ halaman Al Quran telah dibaca

Bagian Waris Anak Angkat

Masalah pembagian harta waris memang selalu menimbulkan permasalahan tersendiri di masyarakat kita. Karena memang tidak bisa kita pungkiri masih banyak orang yang belum paham dan belum tahu tata cara pembagian waris yang tepat dan sesuai dengan syariat.

Padahal salah satu tujuan adanya ilmu waris (faroidh) dalam islam adalah untuk mencegah adanya konflik dan perselisihan di antara ahli waris. Maka ketika ilmu waris itu tidak dipahami dengan benar, ditambah dengan kurangnya kesadaran akan kewajiban menjalankan syariat islam dalam kehidupan, maka di situlah akan selalu timbul permasalahan terutama pada saat pembagian harta warisan yang sifatnya memang agak sensitif.

Termasuk dalam hal ini adalah tata cara pembagian harta waris terhadap anak angkat. Apakah anak angkat itu sebenarnya mendapatkan bagian dari harta waris orang tua angkatnya  atau tidak. Atau bahkan apakah praktek adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri dibolehkan dalam islam?.

Hukum mengadopsi anak (Tabanni)
Pada dasarnya, praktek Tabanni atau pengangkatan anak di dalam islam itu tidak diperbolehkan. Yaitu ketika seseorang menjadikan anak orang lain sebagai anak kandungnya dan menisbatkan anak tersebut kepada dirinya, bukan kepada orang tua kandungnya. Yang berarti disitu ada unsur merubah atau mempengaruhi keturunan anak angkat tersebut seolah-olah menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya itu.

Praktek tabanni ini pada awalnya dilakukan oleh orang arab pada zaman jahiliyah. Pada waktu itu terjadi kebiasaan dimana seseorang mengakui anak orang lain sebagai anak kandungnya, menisbatkan namanya kepada dirinya dan memberikannya bagian dari harta waris sebagaimana anak kandungnya.

Bahkan pada masa-masa awal keislaman parktek ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau pernah mengangkat Zaid bin Haritsah --seorang budak yang merupakan pemberian dari Siti Khadijah-- sebagai anaknya. Sehingga para sahabat pada waktu itu memanggilnya Zaid bin Muhammad bukan Zaid bin Haritsah. Kemudian setelah itu turunlah wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala yang menegaskan bahwa praktek seperti itu tidak diperbolehkan yaitu dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5.

“...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)." Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.....” (Al-Ahzab : 4-5).

Tapi, dalam kasus dimana seseorang mengangkat anak orang lain untuk tujuan mengasuh, merawat, memberikan nafkah dan memberikannya kasih sayang sebagaimana orang tua kandungnya tanpa menganggapnya sebagai anaknya sendiri dan tetap menisbatkan keturunannya kepada orang tua aslinya, maka itu sah-sah saja. Bahkan hal tersebut dianjurkan dalam islam apalagi jika anak tersebut sudah tidak mempunyai keluarga atau yatim piatu.

Jadi yang menjadi poin penting dalam keharaman praktek tabanni ini adalah adanya unsur mempengaruhi atau merubah nasab anak angkat tersebut. Ketika tidak ada unsur tersebut maka, hukumnya menjadi boleh, bahkan sangat dianjurkan apalagi ketika anak tersebut sudah tidak memiliki orang tua atau keluarga yang merawatnya.

Apakah anak angkat mendapat bagian dari harta waris?
Nah, ternyata meskipun praktek mengangkat anak dengan kriteria seperti di atas itu boleh, tetapi ketika orang tua angkatnya meninggal, dia tetap tidak mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua angkatnya tersebut.

Karena salah satu sebab adanya hak penerimaan waris itu adalah adanya hubungan darah atau kekerabatan antara orang yang meninggal dan ahli warisnya. Maka anak angkat itu, seberapa pun dekatnya hubungan dia dengan orang tua angkatnya, tetap tidak dapat bagian dari harta warisannya. Karena di antara keduanya tidak ada hubungan darah atau kekerabatan.

Hal itu disebabkan karena memang syariat lebih mengutamakan kerabat yang paling dekat dan memliki hubungan darah dengan muwarrits (orang yang meninggal dan meninggalkan harta waris) ketimbang orang lain. Bahkan saudara yang agak jauh pun bisa terhalang hak warisnya dengan adanya kerabat yang lebih dekat.

Tapi tetap ada solusi agar anak angkat tersebut bisa mendapatkan bagian dari harta waris orang tua angkatnya. Yaitu dengan cara wasiat. Di mana sebelum meninggal orang tua angkatnya berwasiat untuk memberikan sebagian dari harta warisnya untuk anak angkatnya. Tetapi dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan. Karena jumlah maksimal untuk wasiat itu adalah sepertiga dari harta waris.

Wallahu A'lam.

Sumber : Rumahfiqih.com