Siapa Saja Yang Wajib Kita Nafkahi?
Ibnu Manzhur dalam Lisan Al-Arab jilid 10 hal. 356-357 menjelaskan bahwa asal kata nafaqa menunjuk kepada beberapa makna yang hampir bersamaan yaitu habis, hilang, laris terjual, mati. Dan dari akar kata inilah diperoleh kata nafqah/nafkah, yang berarti:
ما أنفقت، واستنفقت على العيال وعلى نفسك
“Apa yang kamu keluarkan, dan habiskan untuk keluarga dan untuk dirimu sendiri”
Jadi apapun bentuknya setiap apa yang kita keluarkan untuk diri sendiri dan keluarga baik materi maupun non materi itu semua bisa disebut dengan nafkah. Lalu pertanyaan lebih lanjut siapa sajakah yang masuk dalam kata gori keluarga yang disebut diatas?
Sebelum lebih jauh pembahasan kita, yang pasti dan yang paling utama adalah setiap kita wajib memberi nafkah untuk diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya kita memberi nafkah untuk orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ابدأ بنفسك فتصدق عليها..
“Mulailah dari dirimu berilah sedekah (nafkah) untuk dirimu" (HR. Muslim)
Lalu kemudian dalam hadits lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seakan melanjut dengan sabdanya:
وابدأ بمن تعول
“Mulailah dari mereka yang menjadi tanggung jawabmu” (HR. Bukhari)
1. Sebab Nafkah
Para ulama fikih menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga sebab utama yang membuat seseorang wajib memberi nafkah: Sebab pernikahan, sebab hubungan keluarga dan sebab kepemilikan.
Berkaitan dengan sebab pernikahan maka seluruh ulama satu kata dalam hal ini/ijma’ bahwa wajib hukumnya suami memberi nafkah kepada istrinya setelah adanya proses pernikahan yang sah. Terlepas bahwa dalam sebagian kondisi justru istri yang kelihatannya memberi nafkah untuk suaminya karena suaminya pengangguran.
Maka dalam hal ini patut kiranya kita berikan apresiasi yang sebesarnya untuk sebagian istri yang sudah berlapang dada memberikan kebaikannya untuk keutuhan dan keharmonisan keluarga, walaupun sejatinya bisa saja bagi perempuan untuk menggugat perceraian karena alasan nafkah ini, tapi itu tidak dilakukannya.
Semua memang harus realistis bahwa pernikahan tidak hanya bermodal cinta, karena cinta tidak bisa mengenyangkan perut dan menghilangkan haus. Kata ‘mampu’ dalam hadits Rasulullah saw dalam kaitannya pernikahan maksudnya adalah mampu secara fisik/seks juga mampu dalam urusan nafkah.
Kewajiban nafkah yang dimaksud disesuaikan dengan kebutuhan standar istri baik sandang, pangan, maupun papan, tanpa harus ada batasan minimal atau maksimal, setidaknya ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih dari Hanafiyah, Malikiyah, sebagian dari Syafiiyah dan mayoritas ulama Hanabilah.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah: 233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf”
Dalam ayat diatas tidak disebut batasan minimal dan maksimal, justru yang ada hanya penyebutan ma’ruf (baik) dimana standarnya diserahkan kepada tempat dan budaya masing-masing.
Ayat diatas didukung dengan hadits Rasulullah saw terkait pesan beliau kepada Hindun yang mengadu bahwa suaminya tidak memberikan nafkah kepadanya, sehingga Rasulullah saw mengatakan:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kaitannya dengan jenis nafkah istri intinya memang sandang, pangan dan papan, namun sebagian ulama fikih juga menambahkan kewajiban jenis nafkah lainnya, seperti alat kecantikan, kebersihan, kesehatan, obat-obatan, hingga upah pembantu rumah tangga jika istri adalah bagian dari perempuan yang terbiasa diurus oleh pembantu selama berada bersama orang tuanya dulu.
2. Sebab Hubungan Keluarga
Selain dari istri ternyata ada kewajiban tambahan dalam menafkahi keluarga, ini yang kadang kurang disadari oleh kita semua. Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama fikih terkait keluarga yang dimaksud, sebagian pendapat ada yang cenderung menyempitkan, dan sebagian pendapat lainnya ada yang bahkan sangat meluaskannya.
a. Hanafiyah
Para ulama fikih dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga tersebut meliputi; bapak (terus keatas), anak (terus kebawah), saudara, anak saudara, paman dan bibi (baik dari sebelah ayah maupun ibu), dengan syarat bahwa keluarga selain istri dan anak harus satu keyakinan/agama.
b. Malikiyah
Para ulama dalam madzhab ini, seperti yang ditulis dalam Hasyiah Ad-dusuqi, jilid 2, hal. 522, sedikit menyempitkan makna keluarga yang wajib dinafkahi, mereka berpendapat bahwa keluarga yang wajib diberi nafkah hanya kedua ibu bapak dan anak yang langsung, tidak termasuk didalamnya kakek atau cucu, dan tanpa harus memberhatikan apakah satu keluarga ini satu keyakinan/agama atau tidak.
c. Syafiiyyah
Imam As-Syairozi dalam Al-Muhadzzab jilid 2 ha. 212 menjelaskan bahwa keluarga yang dimaksud adalah bapak (terus keatas) dan anak (terus kebawah). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat para ulama madzhab Maliki, namun bedanya disini sedikit meluaskan cakupan bapak yang terus keatas, dan lebih meluaskan cakupan anak yang bisa terus kebawah. Beda halnya degan pendapat madzhab Maliki yang hanya membatas bapak dan anak saja.
d. Hanabilah
Ini adalah pendapat yang sangat meluaskan makna keluarga yang juga wajib diberi nafkah. Al-Mawardi dalam kitanya Al-Inshaf jilid 9, hal. 392-393 menyebutkan bahwa keluarga yang wajib diberi nafkah adalah bapak (terus keatas), anak (terus kebawah), dan seluruh keluarga yang termasuk dalam ahli warisnya, baik dia yang dalam waris mendapat bagian tertentu/fardh atau dia yang mendapat sisah/ashabah.
Hal yang Disepakati
Dari penjelasan diatas ada titik temu antara pendapat para ulama dalam urusan menafkahi keluarga bahwa setiap ushul (bapak) wajib menafkahi furu (anak) dan kebalikannya juga bahwa setiap furu (anak) wajib menafkahi ushul (bapak). Karena pada dasarnya para suami itu menempati dua posisi, sesekali mereka adalah bapak dari anak-anaknya, dan dalam waktu yang bersamaan mereka adalah anak dari orang tuanya.
Dalam kaitannya ushul ke furu Allah swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf”
Pemaknaan ayah dalam ayat di atas diungkap dengan redaksi maulud lahu / anak yang terlahir untuknya, disebut ayah karena ada anak yang dilahirkan oleh istrinya, jika istri yang melahirkan anak ini saja wajib diberi nafkah, maka sudah langsung otomatis anak ini juga wajib dinafkahi.
Ditambah dengan hadits Rasulullah saw kepada Hindun:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam kaitannya furu (anak) menafkahi ushul (bapak) Allah swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)
Dan termasuk dalam katagori ihsan/berbuat baik adalah menafkahi keduanya terlebih disaat mereka sudah tidak ada lagi pendapatan karena fisik yang sudah tidak kuat untuk bekerja, atau karena suatu keadaan sehingga mereka tidak mempunyai harta yang cukup.
Ditambah dengan sabda Rasulullah saw:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكِ، إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مَنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anakmu adalah hasil terbaik usahamu maka makanlah dari hasil usaha anakmu” (HR. Abu Daud)
3. Sebab Kepemilikan
Kepemilikan yang dimaksud adalah budak, juga dalam kaitannya dengan peliharaan hewan. Dalam kaitannya dengan kewajiban memberi nafkah hewan, para ulama menyandarkan dengan sabda Rasulullah saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim, terkait cerita seseorang yang akan masuk neraka karena sebab menelantarkan hewan peliharaan, dengan tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya untuk mencari makan sendiri.
Juga kaitannya dengan kepemilikan lainnya yang mungkin akan kita bahas dalam lain kesempatan.
Sumber : Rumahfiqih.com