Download QuranBest (Free)

325juta++ halaman Al Quran telah dibaca

Membatasi Nilai Maksimal Mahar Ternyata Bukan Solusi Yang Tepat

Memang kita sering mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya terkait dengan anjuran untuk tidak membuat nilai mahar itu tinggi. Di antaranya adalah hadits berikut ini :

اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً اَيْسَرُهُ مَئُوْنَةً

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad)

Namun hadits ini tidak boleh dipahami secara ekstrim sehingga justru malah menghilangkan hak-hak wanita dalam menetapkan mahar. Para wanita tetap punya hak 100% untuk menetapkan harga mahar yang sesuai dengan tingkat sosial dan kedudukan keluarga penganti wanita. Dan juga bukan berarti kita harus menghapuskan semua mahar kecuali yang murah-murah saja.

Hadits ini hanya sekedar mengantisipasi sebuah kecenderungan yang pernah terjadi di masa lalu, dimana muncul persaingan di antara para keluarga pengantin wanita dalam membuat ‘tarif' mahar, sehingga angkanya menjadi melonjak gila-gilaan tidak terjangkau.

Para orang tua pengantin wanita akan saling membanggakan nilai mahar putri-putri mereka dalam perbincangan dengan sesama teman dan kolega. Siapa yang mendapatkan nilai mahar yang paling tinggi, namanya akan menjadi harum dan disebut-sebut orang dalam tiap pembicaraan.

Di sisi lain, di tengah para pengantin pria pun juga terjadi saling berlomba yang sama. Perlu diketahui bahwa pernikahan yang biasa mereka lakukan tidak seperti yang kita lakukan saat ini di negeri kita yang hanya sebatas pernikahan antara perjaka yang masih muda dengan calon istrinya.

Perkawinan yang mereka lakukan justru kebanyakannya malah poligami, dimana para pria dewasa yang sudah matang dan umumnya kaya raya serta sudah berkeluarga pula, berlomba-lomba menikah lagi menambah koleksi istri hingga memenuhi kuota maksimal empat orang.

Sehingga dalam persaingan dengan sesama rekan serta untuk menjaga gengsi masing-masing, mereka pun saling berlomba dalam tarif nilai mahar yang diberikan ketika menikah lagi itu.

Dan sudah menjadi 'urf atau kebiasaan yang dianggap wajar bila mereka pun juga saling membandingkan nilai mahar satu sama lain. Siapa yang maharnya tinggi maka dia akan merasa bangga di hadapan publik sekitarnya. 

Perilaku seperti inilah yang kemudian diantisipasi dengan hadits di atas, yaitu keberkahan sebuah pernikahan itu bukan diukur semata-mata hanya berdasarkan seberapa besar nilai maharnya, justru tidak mengapa kalau tidak terlalu mahal tetapi yang penting keberkahannya. Kurang lebih demikian pesan yang ingin disampaikan hadits tersebut.

Selain masalah meluruskan tujuan pernikahan yang bukan semata-mata perlombaan mahal-mahalan nilai mahar, hadits di atas juga untuk mengantisipasi dampak lainya, yaitu agar para bujangan tidak semakin ciut nyalinya dalam menikah, lantaran selalu mendengar perbicaraan tentang harga-harga mahar yang terbilang mahal dan sama sekali tidak terjangkau.

Membatasi Nilai Maksimal Mahar Ternyata Bukan Solusi Yang Tepat
Amirul Mukminin Umar Ibnu Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu termasuk salah satu tokoh yang melihat betapa para wanita berlomba-lomba dalam nilai mahar dan berinisiatif memberikan batas maksimal. Maksudnya agar kecenderungan ini tidak sampai menjadi tren yang negatif. 

Dalam pandangan Umar, lewat kekuasaannya sebagai Amirul mukminin barangkali beliau bisa mengintervensi dengan membuat batas tarif maksimal. Maka beliau pun naik  keatas mimbar dan menyebutkan bahwa dilarang berlomba dalam menetapkan nilai mahar. Kalau pun ada tawar menawar nilai mahar, Umar memberi toleransi bahwa maksimal mahar itu adalah 400 dirham.

Namun segera saja dia menerima protes dari seorang wanita yang tegas mengingatkannya :

يُعْطِينَا اللَّهُ وَتَمْنَعُنَا كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَا سَمِعْتَ اللهَ  يَقُولُ: وآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطاَراً فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ  شَيْئًا

Allah telah memberikan kita tetapi Anda mencegahnya? Tidakkah Anda pernah mendengar Allah SWT berfirman ,"Dan berikanlah istrimu itu qinthar (harta yang banyak). Dan janganlah kamu mengambil dari sebagiannya".

Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak Anda". 

Maka pembatasan nilai maksimal mahar di masa Umar pun dengan sendirinya dibatalkan, karena rupanya cara itu bukan solusi yang benar.

Mahar Yang Dicicil
Salah satu titik temu antara jaminan syariah atas hak para wanita untuk mendapatkan nilai mahar yang sesuai dengan keinginannya, dengan tingkat kemampuan para perjaka miskin yang kurang berlimpah hartanya adalah dalam bentuk skema cicilan atau hutang dalam pemberian mahar.

Syariat Islam tegas membolehkan mahar yang dibayar secara hutang alias dicicil dan menyebutkan bahwa hal itu masyru' serta dijalankan oleh para sahabat Nabi.

Kalau calon pengantin laki-laki tidak mampu membayar mahar yang diminta calon istrinya dengan sekali bayar, maka dia diberikan keringanan untuk mencicil tanpa bunga. Sebutlah misalnya mahar yang diminta saat akad nikah adalah uang senilai seratus juta. Kalau tabungan penganti pria tidak mencukupi untuk membayar mahar seratus juta sekaligus, maka dia boleh mencicilnya setiap sebulan sekali selama sekian tahun.

Tinggal dibreakdown saja, bila tiap bulan dia mampu menyisihkan uang untuk mencicil sebesar dua juta rupiah, maka cicilan maharnya akan lunas selama 50 bulan atau kurang lebih empat tahun satu bulan. Jadi skemanya tiap bulan, suami memberi nafkah dari gajinya kepada istri, lalu di luar itu suami masih memberi lagi dua juta rupiah sebagai uang cicilan mahar.

Tentu saja setoran mahar tiap bulan menjadi hak eksklusif istri sepenuhnya. Sebab yang namanya mahar itu memang pemberian yang menjadi hak istri.

Kurang Populer
Memang istilah mencicil mahar itu kurang populer di tengah kita bangsa Indonesia. Sebab umumnya kecenderungan umat Islam di Indonesia langsung main pangkas bahwa mahar itu sekedar formalitas belaka, sehingga semua orang kalau bayar mahar hanya sebatas seperangkat alat sholat yang nilainya tidak sampai seratus ribu perak.

Dengan nilai serendah itu, maka umumnya kita jadi tidak pernah mengenal istilah mahar yang dibayarkan secara hutang atau cicilan. Di negeri kita ini, biasanya mahar langsung dibayar secara tunai. Maka lafadz ijab kabul pada akad nikah pun seolah-olah sudah pasti berujung pada kata yang sama, yaitu .... tunai.

Bagaimana tidak tunai, lah wong nilainya tidak sampai seratus ribu perak. Nilai segitu di Jakarta hanya cukup untuk makan di warung tegal berempat sekali makan.

Nyaris kita tidak pernah mendengar ada akad nikah yang berujung pada kata-kata...hutang, cicil, kredit dan sejenisnya. Barangkali para hadirinnya malah akan kebingungan bercampur keheranan.

Padahal Nabi Musa Alaihissalam pun mencicil maharnya ketika menikah salah satu puteri Nabi Syu'aib alaihimassalam. Bahkan temponya cukup lama, yaitu cicilan jangka panjang selama sepuluh tahun, dengan jalan bekerja (jasa) kepada mertuanya sendiri.

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

Berkatalah dia : "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah  dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".(QS. Al-Qashash : 27)

Sumber: Rumahfiqih.com