Download QuranBest (Free)

325juta++ halaman Al Quran telah dibaca

Menikahi Gadis Yang Buta, Bisu dan Tuli

Dalam sejarah islam terdapat sebuah kisah cinta fenomenal yang berawal dari buah apel. Yang kemudian menjadi penyebab lahirnya seorang imam besar umat islam. Berikut kisahnya.

Pada siang hari, ketika terik matahari membumbung tinggi, langkah semakin melambat dan terasa begitu berat. Tsabit bin Ibrahim pemuda sholeh sedang berjalan di pinggir kota kuffah yang kini berada di negara Iraq.

Panas kian terasa tiba-tiba melihat sebuah apel terjatuh dari pohonnya dan keluar dari pagar kebunnya. Melihat apel yang ranum tergeletak itu ditambah dengan cuaca panas, Tsabit merasa sangat tertarik dan ingin memakannya. Ia pun langsung memakan buah apel tersebut hingga tersisa setengah, hingga tiba-tiba ia teringat bahwa apel itu bukanlah miliknya dan ia belum mendapatkan izin pemiliknya.

Ia teringat ada orang yang bersusah payah menanam dan merawat pohon ini hingga berbuah. Maka tanpa berfikir panjang Tsabit langsung memasuki kebun tersebut dan berniat mencari pemiliknya. Di dalam kebun tersebut ia melihat ada seorang laki-laki tua yang sedang membersihkan kebun tersebut dan bergegas mendekatinya.

Dengan nada penuh penyesalan, Tsabit pun berkata, “aku telah memakan setengah dari buah apel ini, aku berharap engkau menghalalkannya.” 

Orang itu berkata, “aku bukanlah sang pemilik kebun, aku hanya ditugaskan merawat dan menjaga tanaman di kebun ini.”

Dengan raut wajah menyesal, ia pun bertanya kembali, “lantas di manakah rumah pemilik kebun ini? Akun akan ke rumahnya untuk meminta agar menghalalkan buah apel yang telah aku makan.”

Tukang kebun itu menjawab, “jika engkau ingin pergi ke sana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam.”

Dengan penuh tekad daripada harus berurusan panjang di akhirat kelak, lebih baik menempuh perjalanan yang begitu jauh, karena ia merasa telah memakan apel yang tidak halal tanpa izin pemiliknya.

Akhirnya Tsabit pun berangkat memulai perjalanan yang sangat jauh dan penuh rintangan itu. Ia telah bertekad sehingga jarak yang jauh bukan menjadi penghalang bagi dirinya untuk menyelesaikan permasalahan yang bisa berbuntut panjang hingga ke akhirat.

Singkat cerita, sesampainya di rumah sang pemilik kebun, ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan sopan. Hingga keluarlah sang pemilik kebun dan Tsabit langsung mengabarkan, “wahai tuan yang pemurah, saya telah memakan setengah dari apelmu yang jatuh ke luar kebun. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu.”

Pemilik kebun tersebut mengamati Tsabit dengan cermat, terlihat bahwa ia telah menempuh perjalanan yang begitu jauh dari kebunnya. Lalu ia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak akan menghalalkannya kecuali engkau mau memenuhi satu syarat.”

Mendengar perkataan tersebut Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “sekiranya, apakah itu syaratnya tuan?”

Lelaki itu menjawab, “engkau harus menikahi putriku. Dan sebelum menikahinya engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia adalah seorang yang matanya buta, lisannya bisu, juga tuli pendengarannya. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh. Selain syarat tersebut kau tidak bisa menghalalkan apa yang telah engkau makan.”

Tsabit amat terkejut mendengar penjelasan si pemilik kebun. Ia berkata dalam hatinya, ‘Apakah aku patut mempersunting wanita seperti itu sebagai istri hanya gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?’

Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan memenuhi pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya, karena aku amat berharap Allah selalu meridhoiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikanku di sisi Allah, dan dengan jalan ini aku dapat memasuki surga-Nya.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Setelah ijab qabul selesai, Tsabit dipersilahkan untuk menemui istrinya. Ia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, Alangkah terkejutnya Tsabit ternyata wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya. Bahkan ia pun menyambut uluran tangan Tsabit.

Ia bertanya-tanya, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?

Wanita tersebut kemudian menjelaskan, “Ayahku berkata bahwa aku buta karena mataku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah.

Ayahku mengatakan bahwa aku tuli, karena telingaku tidak pernah ku gunakan untuk mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridho Allah.

Aku juga dikatakan bisu karena lisanku dalam banyak hal aku menggunakan lisanku untuk menyebut asma Allah dan tidak pernah digunakan untuk mengatakan hal-hal yang dilarang.

Aku pun lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.”

Alangkah bahagianya Tsabit mendapatkan istri yang ternyata sangat sholehah dan wanita yang memelihara dirinya. Ia menggambarkan wajah istrinya bagaikan bulan purnama di malam yang gelap.

Tsabit bin Ibrahim dan istrinya yang sholihah dan cantik itu hidup penuh rukun dan bahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya tersebar ke sluruh penjuru dunia, beliau adalah Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’aim bin Tsabit, senior para imam besar, yakni imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad Rahimahumullah.