Kaidah Fiqih Dari Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa
“Wakana abuhuma shaliha” dahulunya ayah kedua anak kecil ini adalah ayah yang shalih, jelas Nabi Khidhr ‘alaihi sallam kepada Nabi Musa ‘alaihi salam, demikian Al-Qur`an merekam pembicaraan kedua makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang mulia ini.
Lebih jelas, dahulu kala, ketika dalam perjalanan panjang untuk sebuah misi pembelajaran yang dilakukan oleh Nabi Musa ‘alaihi salam kepada Nabi Khidhr ‘alaihi salam, sampailah keduanya pada penduduk suatu negeri. Penat, berkeringat, dan lapar, akibat bekal makanan yang sudah habis. Lalu keduanya dengan sopan meminta kepada penduduk negeri untuk dijamu, tapi mereka enggan memberinya makan. Tidak tahu pasti apa persis alasan penolakan tersebut, sehingga kedua Nabi agung itu dicuekkan begitu saja.
Tiba saatnya nanti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada ummatnya bahwa seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak mau menjamu tamu yang datang, dan seburuk-buruk negeri adalah negeri yang acuh atas hak ibnu sabil (perantau yang kehabisan bekal), demikian Al-Qurthubi, penafsir terkemuka menuliskan dalam kitab tafsirnya.
Dalam suasana lapar itu, sambil terus berjalan, keduanya mendapati salah satu rumah penduduk yang dinding rumahnya hampir roboh, lalu dirobohkanlah semuanya oleh Khidhr ‘alaihi salam (menurut sebagian pendapat), untuk kemudian dibangun kembali dengan lebih baik. Musa ‘alaihi salam kaget dan ta’jub, namun rasa ta’jubnya itu tidak bisa mengalahkan rasa laparnya.
“Kenapa, Engkau, wahai Nabi Khidhr, tidak mau mengambil upah darinya?”, tanya Musa ‘alaihi salam penuh heran, sehingga, pikir Musa ‘alaihi salam, dari upah itu diharapkan mereka bisa membeli makanan.
Lalu kemudian dengarkanlah penjelasan Khidhr ‘alaihi salam berikut ini kepada Musa ‘alaihi salam:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَاالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada kanzun bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (QS. Al-Kahfi: 82)
Ada yang menarik dari cerita di atas, utamanya perihal seorang ayah yang disifati sebagai ayah yang shalih, ayah yang menyimpan kanzun untuk kedua anaknya. Sehingga walau sang ayah sudah tiada, namun tuganya sebagai seorang ayah tidak lekang hanya karena yang satu berada di alam barzakh, dan anak-anaknya berada di alam dunia.
Para ulama tafsir, menyodorkan tiga makna terkait kanzun yang dimaksud dalam ayat tersebut, yang dengannya sang ayah tergolong ayah yang shalih:
Pertama: Harta benda, ini adalah pendapat Ikrimah dan Qatadah, sesuai dengan makna lafazh zhahir dari kata kanzun itu sendiri. Seperti disulap, jangankan sudah mempunyai punya anak, baru punya istri saja semangat kerja mencari nafkah itu luar biasa, apalagi kalau sudah mempunyai anak, mungkin kosakata sakit sudah tidak ada di otak seorang ayah demi anak dan istrinya. Pengorbanan mencari nafkah bahkan sampai berdarah-darah. Sampai disini harta bagi anak sangat penting, dalam konsep waris, maka warisan harta bagi anak-anak juga bisa membuat mereka berwibawa, dengan tidak meminta-minta lantaran sang ayah sudah tidak ada. Untuk poin pertama ini, semua sepakat, bahkan semua ayah sudah menyadarinya dan lebih dari itu, semua ayah sudah melakukannya dengan baik.
Kedua: Ilmu pengetahuan yang terpendam dalam lembaran-lembaran kertas. Ini adalah salah satu pendapat sahabat Ibnu Abbas. Selain urusan makan dan minum, maka seorang ayah juga dituntut untuk memberikan ilmu pengetahuan yang baik kepada anak-anak. Ke depan mereka akan hidup pada masa yang berbeda, tuntutan zaman menghendaki ilmu pengetahuan yang beragam. Ayah yang shalih adalah dia yang bertanggung jawab atas pendidikan anaknya bahkan kalaupun dia sudah tiada. Untuk yang kedua ini tidak semua ayah bisa melakukannya.
Ketiga: Sebongkah emas yang bertuliskan diatasnya pesan kehidupan, buah dari keimanan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan ini juga pendapat lainnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Pesan kehidupan yang didapat dari sekolah kehidupan sang ayah, berbekal ruh spiritual yang tinggi, pesan yang hanya muncul buah dari ketaqwaan seorang ayah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sang ayah yang shalih tersebut di dalam ayat, memberikan pesannya untuk kedua belah hatinya:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ كَيْفَ يَحْزَنُ
Saya heran dengan seseorang yang beriman kepada takdir Allah, bagaimana mungkin dia bisa sedih (dalam kehidupannya).
عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالرِّزْقِ كَيْفَ يَتْعَبُ
Saya heran dengan seorang manusia yang beriman perihal rezeki Tuhan, bagaimana mungkin dia bisa gelisah dan capek memikirkanya.
عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْمَوْتِ كَيْفَ يَفْرَحُ
Saya heran dengan seseorang yang beriman dengan kematian, bagaimana mungkin dia bisa gembira (yang berlebihan) di dunia ini.
عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالْحِسَابِ كَيْفَ يَغْفُلُ
Saya heran dengan seseorang yang beriman kepada hari pembalasan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi manusia yang lalai.
عَجِبْتُ لِمَنْ يُؤْمِنُ بِالدُّنْيَا وَتَقَلُّبِهَا بِأَهْلِهَا كَيْفَ يَطْمَئِنُّ لَهَا
Saya heran dengan seseorang yang beriman perihal dunia yang fana ini, bagaimana mungkin dia bisa tenang bersamanya.
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ.
Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Menjadi ayah, nasihat guru kami, tidaklah cukup hanya dengan memberi makan dan meninggalkan harta untuk anak-anak, lebih dari itu seorang ayah adalah laki-laki yang bertanggung jawab juga terhadap pendidikan anaknya, serta akhlak perilakunya yang tercermin dari buah imannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Demkian ayah yang baik, yang termaktub isyaratnya didalam kitab suci Al-Qur`an, surat Al-Kahfi, yang selalu diminta untuk dibaca pada malam jumat atau di hari jumatnya.
Faidah Fiqih
Ada beberapa faidah fiqih yang bisa diambil dari cerita di atas, di antaranya:
Disebut yatim jika seorang anak ditinggal mati oleh ayahnya, atau ibunya, atau keduanya. Dan sudah tidak disebut yatim jika seorang anak tadi sudah sampai umur (baligh), penyebutan yatim untuk mereka yang sudah dewasa dinilai hanya sebatas ungkapan kasih sayang saja, karena hakikatnya label yatim itu sudah harus dihilangkan ketika mereka sudah sampai umur.
Ibnu Sabil adalah salah satu orang yang berhak menerima zakat. Ibnu Sabil itu tidak bisa diterjemahkan hanya dengan istilah “anak jalanan” sebagaimana anak jalanan yang ada di negri kita. Ibnu sabil itu adalah orang yang kehabisan bekal perjalanan, sehingga sulit baginya untuk meneruskan perjalanan juga sulit baginya untuk kembali ke rumahnya.
Termasuk dalam kategori ibnu sabil untuk orang yang kehabisan bekal di dalam perjalannya, walaupun sebenarnya di rumahnya dia orang yang berkecukupan, demikian pendapat as-Syafiiyah dan Hanabilah, walaupun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa orang seperti ini baiknya berhutang saja, dan jangan diberi uang dari zakat. Namun tidak dikatakan ibnu sabil jika ada orang yang kehabisan bekal dalam perjalannya namun di dompetnya ada kartu ATM yang kapan saja uang tabungannya bisa diambil dengan mudah.
Tidak semua orang bisa disebut dengan ibnu sabil, kecuali memenuhi syarat berikut ini:
• Seorang muslim.
• Kehabisan bekal/harat dan di tangannya sudah tidak ada apa-apa lagi.
• Bukan dalam perjalanan maksiat.
• Tidak ada pihak yang bersedia memberi hutang (syarat tambahan dari sebagian ulama).
Dalam konteks kekinian maka bisa dikatakan sebagai Ibnu Sabil untuk para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terlunta-lunta di negeri orang, sehingga jangankan untuk menyambung hidup yang layak, untuk pulang ke negeri sendiri saja susah, lantaran tidak ada harta untuk membeli tiket pulang. Pun begitu bagi mereka yang para korban perdagangan manusia (human traficking), yang memang kebanyakan dari kasus tersebut menimpa orang-orang miskin, sehingga secara konsep zakat baiknya mereka juga bisa masuk dalam daftar mustahiq zakat atas sama Ibnu Sabil.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ الللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah : 60)
Sumber: Rumahfiqih.com