Download QuranBest (Free)

325juta++ halaman Al Quran telah dibaca

Bolehkah Beribadah Karena Mengejar Pahala

Beribadah untuk mengejar pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala memang sebuah cara pandang yang sudah benar. Tidak perlu lagi diutak-atik atau dikritisi. Sebab sistem per-pahala-an ini memang diajarkan langsung oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, bukan sesuatu yang mengada-ada.

'Sistem Kejar Pahala' ini adalah cara penghitungan yang paling adil, di mana seseorang akan diberikan reward sesuai dengan usahanya, juga akan diberikan punishment sesuai dengan pelanggarannya. Dan kesemuanya akan di re-account dan di audit di hari akhir.

Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri yang memperkenalkan sistem pahala, yang dalam Al-Quran atau As-Sunnah diterminologikan dengan beberapa sebutan antara lain: ajr, jazaa', tsawab. Dalam terjemahan sering ditulis sebagai pahala saja. Kalau kita lakukan pencarian di dalam Al-Quran pada ketiga kata tersebut, maka kita akan menemukannya puluhan kali.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 277)

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim. (QS. Ali Imrah: 57)

Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali Imran: 172)

Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala membuat perumpamaan pahala itu seperti bulir-bulir gandum yang berkembang banyak, padahal asalnya hanya satu bulir saja.

Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 261)

Di ayat lain, bahkan urusan mengumpulkan pahala disetarakan dengan para pedagang yang sedang menghitung-hitung keuntungan bisnis sebesar-besarnya. Pahala-pahala itu diibaratkan proyek-proyek besar yang bisa didapat dengan modal yang murah. Sehingga orang Arab yang memang pedagang itu jadi kerajinan mendapatkan pahala.

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?. (QS. Ash-Shaff: 10)

Bisnis besar dengan keuntungan menggiurkan itu hanya dengan modal yang sedikit. Modalnya adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad dengan harta dan jiwa. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan,

Kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Ash-Shaff: 11)

Sedangkan keuntungan besar yang ditawarkan adalah idaman semua manusia. Pertama, ampunan dari Allah Subhanahu wa ta’ala atas semua dosa. Kedua, kepastian masuk surga. Ketiga, pertolongan dan kemenangan di dunia dalam waktu dekat.

Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan karunia yang lain yang kamu sukai pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (QS. Ash-Shaff: 12)

Harus Menghitung-hitung Pahala

Banyak orang yang tidak menganjurkan untuk menghitung-hitung pahala. Padahal justru kita seharusnya memang sejak sekarang harus menghitung-hitungnya. Sebab di akhirat nanti, memang semua amal baik dan buruk kita akan dihitung dengan sistem penghitungan yang teramat sangat teliti. Karena itulah hari kiamat disebut juga dengan yaumul hisab, yang berarti hari penghitungan. Di masa itu, semua amal baik dan buruk kita akan dihisab (dihitung).

Maka sudah menjadi keharusan buat setiap kita untuk mengukur kadar pahala amal baik dan dosa amal buruk yang telah dilewatinya selama ini. Hikmahnya adalah agar kita bisa mendapatkan data perkiraan nilai kita sendiri. Dan dengan itu kita bisa mengoreksi diri sejak masih ada ajal di dunia untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pahala amal kita. Juga agar kita bisa mengurangi atau menihilkan dosa perbuatan buruk.

Allah Subhanahu wa ta’ala pun pernah mempertanyakan tentang seseorang yang menghitung-hitung bahwa dirinya akan masuk surga, akan tetapi masih ada beberapa faktor yang belum dipenuhinya.

Apakah kamu menghitung bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)

Apakah kamu menghitung bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali-Imran: 142)

Lafadz asli kedua ayat di atas menggunakan kata "am hasibtum" yang asal katanya dari hasiba-yahsibu maknanya adalah menghitung (counting-computing-calculating-listing). Ayat ini bukan melarang seseorang untuk melakukan penghitungan, namun justru isyarat untuk mengerjakannya, namun dalam hal ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengoreksi cara menghitungnya. Jangan sampai seseorang merasa sudah menghitung bahwa dirinya masuk surga, sementara melupakan beberapa elemen penting. Diantaranya bahwa mereka akan diuji atau memenuhi panggilan berjihad.

Dari Syaddan bin Aus Radhiyallahu ‘anhu. berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang cerdas itu adalah yang menghitung dirinya di dunia sebelum dihitung di hari kiamat. Dan yang bekerja untuk masa sesudah kematiannya. Dan orang yang lemah itu adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi berharap kepada Allah" (HR. Tirmizy dan beliau menghasankannya).

Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung di hari kiamat."

Maimun bin Mahran berkata, "Tidaklah seorang hamba Allah itu bertaqwa, kecuali dia menghitung-hitung dirinya sebagaimana dia menghitung rekannya, darimana makannya dan pakaiannya."

Sumber: Rumahfiqih.com