Tiada Yang Lebih Buruk Dari Menelantarkan Tamu
Bagaimana jika untuk menghormati tamu, kambing yang tinggal satu-satunya disembelih? Seorang pria muslim di Nuwairah melakukan hal itu. Istrinya menangis, sebab ia mengkhawatirkan anak-anaknya. Mereka sudah tidak punya uang dan kambing itu harta mereka yang masih memungkinkan untuk mempertahankan hidup.
Kisah ini terjadi di zaman sahabat. Bermula saat Ubaidillah bin Al ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu keluar dari Madinah menuju Syam. Saudara kandung Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu itu hendak menemui Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu. Karena turun hujan, Ubaidillah memilih lewat Nuwairah.
Di Nuwairah, mereka bertemu dengan seorang laki-laki berpakaian kumal.
“Sebaiknya derumkan untamu dan turunlah, aku akan menjamu kalian,” kata laki-laki itu.
Ubaidillah dan pengawalnya pun menurut. Mereka singgah di rumah laki-laki itu.
“Siapkanlah kambing kita. Aku akan menyembelihnya sebagai sajian untuk menjamu tamu kita. Aku melihat mereka orang baik. Jika mereka dari Mudhdhar, berarti dari Bani Abdul Muthalib. Jika dari Yaman, berarti dari Bani Aqil Al Marar,” kata laki-laki itu kepada istrinya.
Sang istri tampak tidak siap mendengar permintaan suaminya. “Ini kan kambing kita yang terakhir. Kehidupan anak-anak sangat tergantung pada kambing ini. Aku khawatir anak-anak akan kelaparan jika kambing itu kamu sembelih.”
“Bahkan jika anak-anak kita mati kelaparan itu lebih aku sukai daripada menelantarkan tamu,” jawab laki-laki itu membuat sang istri tak bisa berbuat apa-apa. Suaminya memang benar, memuliakan tamu adalah tuntunan Rasulullah. Namun sebagai seorang wanita, siapa yang bisa menahan air mata melihat harta satu-satunya untuk anak-anak disembelih.
“Jangan bangunkan anak-anak sampai kita menyelesaikan semuanya,” kata laki-laki itu. Sejenak ia telah membawa pisau dan menyembelih kambing itu. Lalu dimasaknya dan dihidangkan dalam mangkok-mangkok besar untuk makan malam dan sarapan tamunya.
Ketika hendak melanjutkan perjalanan, Ubaidillah meminta pengawalnya untuk menyerahkan uang perjalanan.
“Serahkan uang perjalanan kita kepadanya. Ia telah menjamu kita dengan kambing satu-satunya yang ia punya. Padahal anak-anaknya butuh makan. Sungguh ia orang yang baik, tidak memiliki sumber penghasilan selain kambing itu, namun justru ia menyembelihnya demi untuk memuliakan tamu,” kata Ubaidillah.
Sang pengawal pun kemudian menyerahkan uang senilai sepuluh kali lipat dari harga kambing tersebut.
Betapa gembiranya laki-laki tersebut dan istrinya. Mereka tak menyangka, kebaikan yang ikhlas itu dibalas oleh Allah dengan menghilangkan kekhawatiran bahwa anak-anaknya akan kelaparan. Air mata kesedihan sang istri berubah menjadi air mata kebahagiaan dan kesyukuran.