Kamu belum login

Silahkan login untuk akses semua fitur

Hukum Menggunakan Uang Elektronik

Uang elektronik pada hakikatnya sama saja dengan uang biasa, cuma yang membedakan bahwa bentuk pisiknya saja.Kalau uang yang kita kenal sehari-hari berupa kertas, sedangkan uang elektronik bentuk pisiknya secara umum berupa plastik atau kartu, dimana secara fisik kartu itu tidak diserahkan kepada penjual, cuma sekedar ditempelkan lalu diambil lagi.

Memang secara fisik tidak ada yang diberikan kepada penjual, tetapi bukan berarti tidak ada nilainya. Sebab uang kertas yang selama ini kita pakaipun sebenarnya tidak ada nilainya. Kalau ada nilainya, tidak sesuai dengan yang tertulis di atasnya.

Biaya pembuatan uang kertas seribu rupiah dan seratus ribu rupiah nyaris sama saja. Karena secara fisik keduanya tidak berbeda, kecuali hanya perbedaan gambar cover saja. Namun karena angka yang tertulis berbeda, maka nilai keduanya jadi berbeda.

Demikian juga dengan cek yang biasa kita gunakan, lembarannya sama persis antara satu cek dengan lainnya. Tetapi ketika kita menuliskan cuma pakai ballpoint dengan angka yang berbeda, nilainya pun jadi berbeda. Yang satu cuma seratus ribu dan yang satunya bisa saja seratus juta.

Kenapa bisa begitu?

Karena pada prinsipnya ketika kita menggunakan kertas-kertas itu, kita tidak membayar dengan fisik kertasnya, melainkan dengan nilai yang angkanya dituangkan di atas kertas itu. Maka yang kita bayarkan tetap nilai harga yang memang tidak diwujudkan oleh kertas.

Begitu juga ketika kita menggunakan e-money, yang kita bayarkan adalah nilainya meski tanpa wujud fisik. Namun secara teknis, pembayaran itu dilakukan lewat proses data digital.

Jadi secara hukum, kalau kita menghalalkan uang kertas yang kita kenal sehari-hari, maka uang elektronik dalam bentuk kartu pun sama juga hukumnya, yaitu halal.


Bentuk Fisik Uang di Masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kalau kita telurusi ke belakang, yaitu di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, wujud fisik uang memang bukan kertas yang diprint sebagaimana yang lazim kita kenal hari ini. Uang di masa itu terbuat dari logam mulia, emas atau perak. Koin emas (dinar) biasa digunakan di Romawi, sedangkan koin perak (dirham) banyak digunakan di Persia. Namun tetap berlaku universal di seluruh dunia, termasuk di negeri Arab.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesehariannya menggunakan keduanya sebagai alat tukar. Dan dalam banyak hukum fiqih, keberadaan koin emas dan perak masuk ke dalam inti hukum fiqih muamalah.

Nilainya tidak dibedakan berdasarkan angka yang tertulis di atasnya, tetapi berdasarkan berat fisiknya. Makin ringan makin rendah nilainya dan makin berat makin mahal nilainya. Sebenarnya sangat praktis, selama kebutuhannya sebatas radius kecil.

Namun menjadi kurang praktis bila nilai transaksi yang dijalankan terlalu kecil atau terlalu besar. Koin emas tentu sulit untuk digunakan membeli sebutir apel, bentuknya harus mini sekali. Koin emas juga sulit untuk dibawa kemana-mana kalau kita butuh traksaksi dengan nilai yang agak besar. 


Wujud Fisik Uang di Masa Kini
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar, yaitu uang kertas yang kita kenal sekarang ini.

Pada zaman koin emas masih digunakan, terdapat kesulitan yang ditimbulkan yaitu kebutuhan atas tempat penyimpanan emas yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bermunculan jasa titipan koin emas (gudang uang) yang dilakukan oleh tukang emas.

Masyarakat menitipkan koin mereka ke gudang uang, dan pemilik gudang uang menerbitkan "kuitansi titipan (nota)" yang menyatakan bahwa mereka menyimpan sekian koin emas dan koin tersebut dapat diambil sewaktu-waktu. Tentu saja jasa tersebut ada biayanya.

Dengan berlalunya waktu dan semakin banyak nota titipan beredar, masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan transaksi jual beli hanya dengan menggunakan nota tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka, para pemilik nota dan pedagang percaya bahwa mereka dapat mengambil koin emas di gudang uang sesuai jumlah yang tertera di nota titipan. Mereka percaya bahwa nota tersebut dijamin oleh koin emas yang benar.

Sampai titik ini, mungkin bisa dianggap "tidak ada masalah" karena jumlah nota beredar, dibackup sesuai dengan jumlah koin emas yang ada di gudang uang.

Tapi, semua mulai berubah saat ketamakan itu datang. Seiring berjalannya waktu, pemilik gudang uang menyadari secara empiris bahwa, tidak semua orang akan mengambil seluruh simpanannya dalam jangka waktu yang sama.

Katakanlah, dalam suatu waktu, hanya 10% dari total koin yang diambil oleh pemiliknya. Sisanya 90%, menumpuk, menganggur, menunggu bisikan untuk dipergunakan. Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik gudang uang mulai -secara diam-diam meminjamkan koin emas yang menumpuk tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan modal dengan cara menerbitkan nota kosong, seolah-olah dijamin oleh emas, padahal tidak sama sekali, karena yang digunakan adalah koin emas para nasabah yang menitipkan emasnya. 

Inilah awal dari istilah "menciptakan uang dari udara kosong". Selain meminjamkan, tentu mereka menarik bunga atas pinjaman tersebut. 

Sampai tahun 1971, seluruh negara di dunia sebenarnya masih menggunakan sistem uang kertas berbasis emas (atau dolar, karena dolar menjadi mata uang kunci yang dikaitkan kepada emas).

Tetapi setelah tahun 1971, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Sistem uang kertas dilepas dari emas sehingga menjadi benar-benar uang kertas dalam arti kertas sesungguhnya, yaitu kertas yang dicetak begitu saja lalu dianggap sebagai uang dan tidak dijaminkan dengan emas apapun. Inilah yang disebut dengan uang fiat (fiat money).


Wujud Fisik Uang di Masa Depan
Dengan semakin majunya teknologi, akhirnya tercipta pula uang 'digital' atau uang elektronik. Biasa disebut dengan e-money. Wujudnya tidak lagi berbentuk fisik, melainkan berupa data digital yang disimpan dalam memori berwujud kartu plastik yang tipis dan praktis dibawa kemana-mana.

Ada banyak bentuk e-money ini, sebagian ada yang mengharuskan penggunanya punya acoount di bank tertentu. Tetapi yang sekarang populer adalah berupa kartu e-money yang dijual bebas. Kita cukup membeli kartu e-money itu dengan uang fisik sesuai nilai yang kita inginkan. Lalu kita bebas menggunakannya cukup dengan melakukan tapping atau gesek di kasir pembayaran.

Penggunaan e-money ini semakin meluas di masa sekarang, bukan saja sebatas membayar telepon umum, tetapi juga untuk membayar banyak transaksi, seperti membayar tagihan listrik, telepon, tv berlangganan, pembelian tiket, jalan tol, tiket kereta, bus, pembelian bahan bakar, dan belanja keperluan sehari-hari.

Ada banyak kelebihan yang bisa diambil dari bertransaksi menggunakan e-money ini. Di antaranya kepraktisan dalam pembayaran, sebab tidak butuh pemberian uang dalam bentuk fisik. Tidak perlu ada uang kembalian, bila harga yang dibayar bernilai pecahan. Sehingga mengurangi antrian pembayaran. Satu lagi, setiap pembayaran dengan e-money tercatat secara digital dan ada struk yang bisa dijadikan barang bukti. 

Tetapi e-money ini juga punya kekurangan. Kalau hilang, tentu uangnya hilang semua yang ada di dalam kartu itu. Selain itu e-money ini juga sulit digunakan di pedesaan tetinggal dan berada di pelosok yang jauh dari kehidupan modern. Bagaimana mau menggunakan e-money, listriknya saja tidak ada. 

Wallahu a'lam bishshawab

Sumber: Rumahfiqih.com