Kamu belum login

Silahkan login untuk akses semua fitur

Lebih Baik Jadi Muslim Kaya Atau Miskin?

Muslim Ideal; Yang Kaya atau Yang Miskin?

Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala meluaskan rizqi seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Dan ketika Allah menyempitkan rizqi hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya.

Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. Rasa kurang tepat kalau dikatakan bahwa muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar dan yang kaya tapi banyak berinfaq serta syukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah dan para shahabatnya.

Abu Bakar as-shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf radhiyallahu'anhum adalah tipe-tipe shahabat nabi yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Dan yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Siapa bilang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu miskin dan tidak punya penghasilan. Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah jauh melebihi. Memangnya apa sih profesi Rasulullah? Berdagang?

Tidak, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau lakoni setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi nabi.

Pemasukan beliau adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah Subhanahu wa ta’ala beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Bila suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum muslimin, maka beliau punya hak 20% dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal: 41)

Namun semua hak yang beliau terima itu tidak menjadikan beliau hidup di istana megah, atau mengoleksi semua baju termahal dunia, atau makan makanan terlezat di dunia. Semua tidak terjadi pada beliau, sebab semua harta yang beliau dapatkan hanya beliau kembalikan lagi buat para fakir miskin dan orang-orang tak punya yang membutuhkan.

Kehidupan pribadi beliau sendiri terlalu bersahaja, tidur hanya beralas tikar kasar yang kalau beliau bangun, maka masih tersisa bekas cekatannya di kulit beliau. Bahkan pernah 3 bulan dapur rumah beliau tidak mengepulkan asap.

Demikian juga shahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, apa sih yang beliau tidak punya dari harta kekayaan dunia. Beliau seorang saudagar besar yang kalau mau menumpuk kekayaan, tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Tetapi seluruh harta yang beliau miliki diinfaqkan ke baitul muslimin. Ketika ditanya apa yang disisakan untuk anak dan isteri, beliau hanya menjawab bahwa untuk anak dan isteri adalah Allah Subhanahu wa ta'ala. Subhanallah!

Perilaku gemar infaq ini sampai membuat Umar bin Al-Khattab iri dengan Abu Bakar. Beliau baru mampu menginfaqkan 50% dari total hartanya saja. Bahkan pernah beliau mendapatkan hak eksklusif atas perkebunan kurma di Khaibar. Kalau dinilai nominal, maka hak itu akan membuatnya sangat kayaraya dan bisa membangun istana termegah di muka bumi dengan biaya pribadi, tetapi beliau justru mewakafkannya di jalan Allah. Padahal perkebunan kurma itu selalu menghasilkan panen tiap tahun sepanjang masa.

Belum lagi Utsman bin Al-Affan radhiyallahu ‘anhu. yang kemaruk untuk bershadaqah, tidak boleh melihat orang sudah, kepinginnya langsung membantu dengan hartanya yang sangat berlimpah.

Pendeknya, Islam sangat tidak mengharamkan kekayaan, bahkan nabi dan para shahabat boleh dibilang termasuk jajaran milyarder dengan usaha dan jerih payah mereka, tetapi yang menarik kita kaji adalah sikap mereka setelah menjadi milyarder itu sendiri. Tidak ada keinginan untuk bermewah-mewah, apalagi pamer kekayaan. Justru semuanya malah dinafkahkan ke baitul-mal muslimin.

Barangkali inilah yang sulit kita contoh di masa sekarang. Untuk sekedar jadi kaya, bikin usaha, punya beberapa perusahaan multi nasional, mungkin kita bisa mencapainya. Tetapi bisakah kita tetap berada di jalan para shahabat itu ketika kekayaan sudah di tangan?

Tentu ceritanya akan lain bila kita sendiri yang mengalaminya. Sehingga banyak orang yang terjebak dengan situasi ini, lalu lebih memilih hidup miskin saja. Tentu ini masalah pilihan hidup dan selera masing-masing individu.

Yang penting, Islam sama sekali tidak mengharamkan umatnya jadi orang kaya, sebab nabi dan para shahabat pun banyak yang kaya. Tapi kalau tidak mampu jadi orang kaya, hidup jadi orang miskin saja pun tidak apa-apa. Tapi biar pun jadi orang miskin, jangan dikira masalah sudah selesai. Selamanyawa masih dikandung badan, selama itu pula ujian dan cobaan masih harus kita hadapi.

Wallahu a'lam bishshawab

Sumber: Rumahfiqih.com